“Perumpamaan orang mukmin yang membaca Alquran adalah seperti bunga
utrujjah, baunya harum dan rasanya lezat. Sebaliknya orang mukmin yang
tidak suka membaca Alquran adalah seperti buah korma, baunya tak begitu
harum, tetapi manis rasanya. Sedangkan orang munafik yang membaca
Alquran ibarat sekuntum bunga, berbau harum tapi pahit rasanya dan orang
munafik yang tidak membaca Alquran tak ubahnya laksana buah hanzalah,
tidak berbau dan rasanya pahit sekali.” (HR Bukhari dan Muslim).
Istilah ‘tahsin’ sering kali dikaitkan dengan aktivitas membaca
al-Quran. Istilah ini telah mendapatkan tempat di hati masyarakat,
terutama mereka yang menyadari pentingnya melaksanakan rutinitas membaca
al-Quran dengan segala kesempurnaannya. Istilah ini muncul sebagai
sinonim dari kata yang sudah lebih dulu akrab di telinga kaum muslimin,
yaitu‘tajwid’ yang seringkali dipahami sebagai ilmu yang membahas tata
cara membaca al-Quran dengan baik dan benar serta segala tuntutan
kesempurnaanya. Secara bahasa, istilah tajwid yang disamakan dengan
tahsin ini memiliki arti yang sama, yaitu membaguskan. Para ulama
memberikan batasan mengenai istilah ini, yaitu “mengeluarkan huruf-huruf
al-Quran dari tempat-tempat keluarnya (makharij huruf) dengan
memberikan hak dan mustahaknya. Yang dimaksud dengan hak adalah
menegaskan huruf disertai dengan penerapan sifat-sifatnya seperti
mengalirnya nafas atau sebaliknya (hams dan Jahr) atau menebalkan huruf
tertentu dengan cara mengangkat pangkal lidah atau menipiskannya
(Isti’la dan Istifal) yang keseluruhan sifat huruf tersebut berjumlah 17
sifat. Adapun yang dimaksud dengan mustahak adalah mengaplikasikan
sifat-sifat tambahan disebabkan misalnya terjadinya pertemuan huruf
tertentu dengan huruf lainnya seperti idgham, ikhfa, iqlab atau
mengaplikasikan kesempurnaan konsistensi tanda panjang sesuai dengan
tuntutannya. Untuk mencapai kesempurnaan penguasaan ilmu ini secara
teori dan praktek, setiap muslim dituntut untuk mengoptimalkan usaha
melalui latihan-latihan dan praktek membaca yang senantiasa didampingi
oleh orang yang dianggap sudah baik bacaannya. Bagi sebagian orang ada
yang mendapatkan kemudahan untuk menguasainya namun ada juga yang merasa
kesulitan karena ia belum terbiasa mengucapkan kata-kata selain bahasa
yang dikuasainya.
Membaca Al Qur’an adalah sebaik-baik amal perbuatan, sebagaimana
diriwayatkan dari Utsman bin Affan ra, ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda “Orang yang paling baik diantara kalian adalah yang mempelajari
Al Quran dan mengajarkannya” (HR. Bukhari, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu
Majjah dan Addarini). Oleh karenanya “Bacalah oleh
kamu sekalian Al Quran, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari
qiamat sebagai penolong bagi para pembacanya.” (HR. Muslim).
Rasululullah bersabda أَصْوَاتِهَا وَ الْعَرَبِ بِلُحُوْنِ
الْقُرْآَنَ إ ِقْرَؤُوْا “Bacalah AlQuran dengan cara dan suara orang
Arab yang fasih”. (HR. Thabrani) dan Sabda Nabi : “Orang yang membaca
Al Qur’an dan dia lancar membacanya akan bersama para malaikat yang
mulia dan baik. Dan orang yang membaca Al Qur’an dengan terbata-bata, ia
mendapatkan dua pahala ” (Muttafaq alaih dari Aisyah ra).‘Kesulitan’ yang dirasakan sebagian orang dalam mempelajari tahsin
al-Quran telah mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa yang paling
penting dalam membaca al-Quran adalah berusaha memahaminya agar mampu
diamalkan, bahkan sebagian ada yang berpendapat bahwa kesempurnaan
membaca al-Quran dengan menerapkan tajwid atau tahsinnya adalah
pelengkap saja atau sekedar hiasan (aksesoris), maka mencapai
kesempurnaan membacanya bukanlah suatu prioritas yang diutamakan,
kembali pada pendapat di atas, tujuan utama membaca al-Quran adalah
memahaminya untuk diamalkan, sebab kalau tidak demikian, maka fungsi
‘huda’ tidak tercapai, begitulah kira-kira pendapat sebagian orang
tersebut. Terlebih lagi sebagian orang tua ada yang berkata, lisan kami
sudah sangat sulit untuk mencapai pengucapan huruf yang sempurna, maka
interaksi kami dengan al-Quran cukuplah hanya berusaha memahaminya agar
bisa diamalkan.
Pendapat di atas tidak ada salahnya, namun kiranya
perlu dipahami secara seimbang dan komprehensif, jangan sampai alasan
yang disampaikan bukan menguatkan pendapat di atas malah menegaskan
kelemahan penyampai argumen yang alasannya cenderung diada-adakan.
Bukankah membaca al-Quran dengan mempraktikkan kaidah-kaidah tahsin atau
tajwidnya merupakan pengamalan yang harus dilaksanakan sebagai
konsekwensi pemahaman ayat al-Quran yang memerintahkannya? Dan kalau
diperhatikan, ada beberapa hal yang menyebabkan kita harus ‘tahsin’
dalam membaca al-Quran :
1. Perintah Allah Swt.
Allah Swt
memerintahkan dalam QS. Al-muzzammil : (4) : (ورتل القرءان ترتيلا), dan
bacalah Al-Quran dengan tartil, demikianlah lebih kurang terjemahan ayat
di atas. Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan tartil
adalah membaca dengan pelan-pelan, penuh ketenangan dan perhatian yang
serius dengan memperjelas pengucapan huruf-hurufnya. Imam Al-baidhawi
menambahkan bahwa kesempurnaan tersebut dengan cara melatih lisan atau
pengulangan dan merutinkan bacaan sambil mempraktikkan kesempurnaan
pembacaan huruf-huruf yang tipis (tarqiq) dan tebal (tafkhim),
memendekkan huruf yang pendek dan memanjangkannya jika menuntut demikian
serta mengaplikasikan kaidah lainnya yang terangkum dalam materi tahsin
al-Quran (Nihayah Qaulil Mufid, 2003). Pengertian ini juga yang
ditegaskan oleh seorang pakar Tafsir, M. Ali As-Shabuni dalam tafsir
ayat ahkamnya sewaktu menerangkan tentang QS al-muzammil: 4 ini, dan
menambahkan agar pembacaan demikian dapat mengantarkan pada parasaan
ta’zhim (keagungan) yang dikandung al-Quran dan berusaha merenungi
(tadabbur) makna-maknanya. Inilah maksud definisi singkat tentang tartil
yang disimpulkan oleh seorang sahabat terkenal, Ali Ibn Abi Thalib.
Beliau menyimpulkan makna tartil dengan ungkapan yang cerdas“ tajwiidul
huruf wa ma’rifatul wuquf”, men-tajwid-kan/membaguskan pengucapan
huruf-hurufnya serta mengetahui tempat-tempat berhentinya. Bukankah
seseorang yang membaca al-Quran dengan sempurna dan mengetahui kapan ia
harus memulai dan memberhentikan bacaannya sesuai dengan ‘titik-
komanya’ karena ia paham dari apa yang dibacanya? Perintah membaca
al-Quran dengan tartil lebih ditegaskan lagi dalam pemahaman ayat di
atas ketika kata perintah ‘rattil’ terulang kembali dalam bentuk mashdar
‘tartila(n)’, yang mengesankan makna adanya perhatian yang besar
mengenai terealisasinya perintah Allah ini, pengagungan terhadap
obyeknya yaitu Al-Quran, dan besarnya pahala yang Allah berikan kepada
para pelaksana perintah ini.
2. Refleksi keimanan setiap hamba yang taat.
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-baqarah : 121,
الذين ءاتيناهم الكتاب يتلونه حق تلاوته أوالئك يؤمنون به ومن يكفر به فأولئك هم الخاسرون
orang-orang
yang telah Kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan
bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa
yang ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang merugi.
Saiful
Islam Mubarak Lc., M.Ag., menuliskan dalam Risalah Mabitnya (Permata,
2003), ada beberapa hal yang perlu diresapi sebagai tadabbur dari ayat
di atas; pertama, kata tilawah sebagaimana dalam ayat di atas, yang
berarti membaca, sering dihubungkan dengan al-Quran dan tidak biasa
dikaitkan dengan selainnya. Hal ini mengesankan keistimewaan al-Quran
dibanding kitab lainnya yang mendorong kita untuk mengetahui rahasia
membacanya. Kedua, beliau mengutip pendapat As-Shabuni dalam
Shafwatutafasir, bahwa yang dimaksud dengan haqqa tilawatihi, ‘bacaan
yang sebenarnya’, adalah bacaan sebagaimana Jibril membacakannya kepada
Muhammad Saw, ini menunjukkan bahwa membaca al-Quran mempunyai aturan
tertentu yang tidak dimiliki bacaan selainnya dan orang yang membaca
dengan demikian adalah yang beriman kepadanya. Ketiga, ayat di atas
menjelaskan dua golongan manusia, yang beriman dan kufur. Golongan
pertama adalah yang membaca al-Kitab dengan bacaan yang sebenarnya yaitu
sesuai dengan bacaan Rasulullah. Menurut konteks ayat di atas, maka
dapat dipahami siapa yang termasuk golongan kedua. Oleh karena itu
mempelajari tahsin atau tajwid bukan masalah yang patut diremehkan,
sebab ia sangat berhubungan dengan masalah keimanan. Dan bila sudah
berusaha untuk mencapai kesempurnaan membacanya dengan mempelajari ilmu
tahsin namun belum sampai pada kesempurnaan bacaan yang dicontohkan
Rasulullah , mudah-mudahan Allah mengampuni kesalahan dan dosa
hamba-Nya. Demikian kurang lebih beliau menuliskan.
3. Mengikuti jejak Rasulullah, para sahabat dan pewarisnya yang mendambakan surga.
Banyak
hadis serta atsar sahabat yang menjelaskan keutamaan orang-orang yang
senantiasa berinteraksi dengan al-Quran mulai dari memelihara
kesempurnaan bacaannya hingga menghafalnya, namun cukuplah satu hadis
Rasul yang menegaskan para ahli al-Quran adalah orang-orang yang
terbaik. Rasulullah Saw bersabda :
خيركم من تعلم القرءان و علمه (رواه البخاري)
Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya ( HR. Imam Bukhari)
Sebagaimana
dalam hadis di atas, Rasulullah menegaskan bahwa kedudukan seseorang
menjadi yang terbaik ditunjukkan di antaranya dengan dua aktivitas utama
ketika berinteraksi dengan al-Quran, yaitu belajar dan mengajarkan.
Memang, untuk mencapai manfaat maksimum dari Kitab Allah ini adalah
dengan melaksanakan dua aktivitas tersebut, dengan demikian terbukalah
pintu-pintu kebaikan lainnya. Belajar adalah syarat utama untuk mencapai
puncak ilmu dengan segala persyaratannya yang harus dilakukan,
mengajarkan adalah memberikan kemanfaatan terhadap orang lain dari apa
yang dipelajarinya di samping sebagai kontrol terhadap dirinya agar
melaksanakan setiap ilmu yang dipelajarinya jauh sebelum ia ajarkan
kepada orang lain.
Abduh Zulfidar Akaha dalam bukunya 13 Orang
terbaik dalam Islam ( Al-kautsar, 2004) menerangkan, maksud mempelajari
al-Quran dari hadis di atas adalah belajar membaca al-Quran dengan
disertai hukum tajwidnya, agar dapat membaca al-Quran dengan tartil dan
benar seperti ketika diturunkannya. Dan hal demikian hanya dapat
tercapai melalui talaqqi, belajar dengan berhadapan secara langsung
antara guru dan murid dengan melibatkan indera utama melihat dan
mendengar. Imam Al-Jazari salah seorang pakar ilmu Qiraat dan imam di
bidangnya mengatakan “ aku tidak mengetahui jalin paling efektif untuk
mencapai puncak tajwid selain dari latihan lisan dan mengulang-ulang
lafazh yang diterima dari mulut orang yang baik bacaannya.
4. Memelihara al-Quran dari kesalahan yang tidak layak.
Para
ulama tajwid membagi 2 kesalahan dalam membaca al-Quran, kesalahan
pertama adalah lahn Jaliyy, yaitu kesalahan yang mudah diketahui seperti
pengucapan huruf ش yang dibaca dengan huruf س dalam lafazh شكر ,
tentunya kesalahan ini tanpa disadari telah merubah huruf al-Quran
sehingga dihukumi sebagai kesalahan fatal yang menyebabkan keharaman
apalagi kalau sampai merubah maknanya. Kesalahan kedua adalah yang
disebut dengan lahn khofiy, kesalahan yang diketahui oleh orang-orang
tertentu diantaranya oleh orang-orang yang memahami ilmu tajwid
al-Quran. Kesalahan ini berkisar pada ketidakmampuan menerapkan kaidah
hukum seperti idgham, ikhfa, iqlab dan lainnya. Kesalahan ini tergolong
ringan sehingga sebagian menghukuminya makruh namun ada pula yang
mengharamkannya sebab dengan demikian telah ikut merusak keindahan
al-Quran. Dengan mempelajari ‘tahsin’ maka dipandang adanya usaha dari
kita untuk membebaskan diri dari perangkap kesalahan ini dan berharap
agar Allah senantiasa mengampuni ketidakmampuan untuk mencapai
kesempurnaannya setelah berusaha secara maksimum.
5. Menuju kesempurnaan ridla Allah Swt.
Pelaksanaan
ibadah kepada Allah Swt adalah dengan segenap perbuatan,ucapan, bahkan
lintasan hati yang diorientasikan kepada Allah Swt dengan mengharapkan
keridlaan-Nya. Agar sampai pada keridlaan-Nya, pelaksanaan ibadah yang
dilandaskan pada perintah dan larangan-Nya. Keseriusan kita dalam
mempelajari dan mengamalkan membaca al-Quran dengan segala
kesempurnaannya karena dilandasi keyakinan akan jaminan Allah dan
Rasul-Nya akan mengantarkan pada golongan para ahli al-Quran yang
disanjung oleh Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah Saw bersabda; “orang yang
membaca al-Quran dan ia pandai dalam membacanya, ia akan bersama para
malaikat yang menjadi utusan yang mulya lagi suci, sedangkan orang yang
membaca al-Quran namun terbata-bata, kesulitan serta kesukaran dalam
membacanya, ia akan memperoleh dua pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka orang demikian akan berusaha meminimalisir kesalahan bahkan
melepaskan diri dari setiap kesalahan walau yang makruh sekalipun,
karena ia paham makruh berarti dibenci, ya.. dibenci oleh Allah Ta’ala,
akankah keridlaan Allah datang pada setiap lafazh al-Quran yang
dibacakan jika pembacanya senantiasa terjebak dalam kesalahan yang
makruh sekalipun? Akankah seseorang yang kita senangi menaruh simpati
kepada kita setelah kita berikan hadiah dengan sesuatu yang
dibencinya?logika manusia normal akan menjawab, tidak !!!
Ebook Panduan Pedoman Daurah Quran Lengkap bisa DOWNLOAD disini..!!!
Contoh Simpel Latihan pengucapan Disiko,,,,!!!
*Berbagai Sumber
0 komentar:
Posting Komentar