http://i771.photobucket.com/albums/xx357/cebol_01/Kursor.png

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 09 Oktober 2013

Menyegerakan Pernikahan Bagi Pemuda

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pernikahan menurut Islam bukan sekedar sarana pemenuhan kebutuhan biologis, tapi sekaligus bernilai pahala. Ia adalah ibadah yang bernilai besar dan merupakan separuh dari agama. Nabi saw. bersabda:
ِإذَا تَزَوَّجَ اَلْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ, فَلْيَتَّقِ اللهَ فيِ نِصْفِ الْبَاقِي
“Jika seorang hamba menikah maka ia telah menyempurnakan sebagian agamanya, hendaknya ia bertakwa pada Allah pada sebagian yang lain.”(HR. Ath Thabrani).
Dan yang unik, Islam mendorong agar para pemuda menyegerakan pernikahana manakala telah memiliki kemampuan. Usia di mana naluri seksual sedang bergejolak dan meminta kebebasan kepribadian, justru diarahkan oleh Islam menuju pernikahan.
Pada masyarakat yang menegakkan demokrasi yang menjamin kebebasan/liberalisme, pernikahan memang menjadi sesuatu yang berat. Masyarakat memandang aneh jika ada pernikahan di usia muda. Demikian pula banyak kaum muda yang merasa belum pantas menikah di usia mereka. Sementara orang tua juga memandang pernikahan hanya layak dilakukan bila anak-anak mereka telah mapan secara finansial, yang sebenarnya pengingkaran atas keadaan mereka dahulu ketika menikah.
Sikap ini malah mendorong terjadinya perilaku penyimpangan perilaku seksual. Pergaulan bebas dan kehamilan merebak, demikian pula aborsi dan penyakit kelamin mengancam. Menurut catatan pemerintah, pada tahun lalu dari 33 propinsi, 63,5 persen remaja dan pelajar di tanah air pernah melakukan perzinaan.
Selain itu aturan birokrasi juga menyulitkan pemuda untuk menikah. Misalnya soal batasan umur dan biaya pernikahan. Lingkungan adat juga menjadi hambatan pelaksanaan pernikahan, semisal mahar yang harus tinggi, upacara pernikahan yang meriah, dsb. Hal ini berbeda dengan ajaran Islam yang mendorong kemudahan dalam melaksanakan pernikahan.
Ada beberapa keutamaan mengenai amal pernikahan. Di antaranya ialah:
1.        Menjaga kesucian dan kehormatan diri.
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Tahukah kalian jika seseorang menumpahkan syahwatnya pada yang haram tidakkah ia berdosa? Maka demikian pula apabila ia menempatkan syahwatnya pada yang halal adalah pahala baginya.”(Hr. Muslim)
2.        Pernikahan menyempurnakan separuh agama. Sabda Nabi saw.:
ِإذَا تَزَوَّجَ اَلْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ, فَلْيَتَّقِ اللهَ فيِ نِصْفِ الْبَاقِي
“Jika seorang hamba menikah maka ia telah menyempurnakan sebagian agamanya, hendaknya ia bertakwa pada Allah pada sebagian yang lain.”(HR. Ath Thabrani).
3.        Allah memberikan pertolongan bagi orang yang menikah
ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
“Tiga golongan yang berhak mendapatkan pertolongan Allah; pejuang di jalan Allah, hamba sahaya yang menginginkan kemerdekaan, dan orang yang menikah karena menginginkan kesucian diri.”(HR. Turmudzi).
4.        Mendapatkan keturunan
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”(QS. an-Nisa: 1).
Pernikahan sudah menjadi bagian dari pandangan hidup yang khas dalam Islam. Sebagai dien yang sempurna, Islam menghendaki umat manusia hidup teratur dan penuh ketenangan. Salah satunya adalah memberikan penyaluran yang halal dan barakah bagi pria dan wanita dalam ikatan pernikahan.
Sebaliknya, ideologi selain Islam justru menghancurkan fitrah manusia dengan memberikan kebebasan tanpa batas. Alih-alih menciptakan kebaikan, yang terjadi justru malapetaka bagi kehidupan manusia
 
(Wienarno)

Menyegerakan Pernikahan Apakah Solusi..?


Diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah diciptakannya pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung padanya. Dan Allah menjadikan di antara kalian perasaan tenteram dan kasih sayang. Pada yang demikian ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Ketika tiba masa usia aqil baligh, maka perasaan ingin memperhatikan dan diperhatikan lawan jenis begitu bergejolak. Banyak perasaan aneh dan bayang-bayang suatu sosok berseliweran tak karuan. Kadang bayang-bayang itu menjauh tapi kadang terasa amat dekat. Kadang seorang pemuda bisa bersikap acuh pada bayang-bayang itu tapi kadang terjebak dan menjadi lumpuh. Perasaan sepi tiba-tiba menyergap ke seluruh ruang hati. Hati terasa sedih dan hidup terasa hampa. Seakan apa yang dilakukannya jadi sia-sia. Hidup tidak bergairah. Ada setitik harapan tapi berjuta titik kekhawatiran justru mendominasi.



Perasaan semakin tak menentu ketika harapan itu mulai mengarah kepada lawan jenis. Semua yang dilakukannya jadi serba salah. Sampai kapan hal ini berlangsung? Jawabnya ada pada pemuda itu sendiri. Kapan ia akan menghentikan semua ini. Sekarang, hari ini, esok, atau tahun-tahun besok. Semakin panjang upaya penyelesaian dilakukan yang jelas perasaan sakit dan tertekan semakin tak terperikan. Sebaliknya semakin cepat / pendek waktu penyelesaian diupayakan, kebahagiaan & kegairahan hidup segera dirasakan. Hidup menjadi lebih berarti & segala usahanya terasa lebih bermakna, dan cinta akan berkembang pada waktunya.


Penyelesaian apa yang dimaksud? Pernikahan! Ya menikah adalah alat solusi untuk menghentikan berbagai kehampaan yang terus mendera. Lantas kapan? Bilakah iabisa dilaksanakan? Segera! Segera di sini jelas berbeda dengan tergesa-gesa. Untuk membedakan antara segera dengan tergesa- gesa, bisa dilihat dari dua cara:

1. Tanda-Tanda Hati

Orang yang mempunyai niat tulus, kata Imam Ja'far, adalah dia yang hatinya tenang, sebab hati yang tenang terbebas dari pemikiran mengenai hal-hal yang dilarang, berasal dari upaya membuat niat murni untuk Allah dalam segala perkara. Kalau menyegerakan pernikahan karena niat yang jernih, Insya Allah hati akan merasakan sakinah, yaitu ketenangan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kita merasa yakin, meskipun harapan & kekhawatiran meliputi dada. Lain lagi dengan tergesa-gesa. Ketergesaan ditandai oleh perasaan tidak aman & hati yang diliputi kecemasan yang memburu. Kadang cinta sebelum menikah bukanlah cinta sebenarnya, melainkan hanya cinta nafsu.

2. Tanda-Tanda Perumpamaan

Ibarat orang bikin bubur kacang hijau, ada beberapa bahan yang diperlukan. Bahan paling pokok adalah gula & kacang hijau. Jika gula & kacang hijau dimasukkan air kemudian direbus, maka akan didapati kacang hijau tidak mengembang. Ini namanya tergesa-gesa. Kalau gula baru dimasukkan setelah kacang hijaunya mekar ini namanya menyegerakan. Tapi kalau lupa, tidak segera memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar cukup lama orang akan kehilangan banyak zat gizi yang penting.

(dari beberapa sumber)

Ketika Orang Tua Menunda Pernikahan Anak


Menunda Pernikahan Anak
 
Firman Allah swt, “…maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS Al-Baqarah: 232)
Menikah termasuk bagian dari kebutuhan hidup manusia yang pokok setelah menginjak usia baligh dan memiliki keinginan terhadap lawan jenis. Sebagaimana hal ini juga dirasakan oleh para orang tua tatkala mereka masih muda. Dimana dan kapan saja yang diingat selalu lawan jenisnya.
Lalu, bagaimana perasaan kita sebagai orang tua yang apabila pada masa muda kita ingin menikah, namun dihalang-halangi oleh orang tua? Tentu kita akan merasa menderita, yang bisa jadi dampaknya kan berpengaruh terhadap aktivitas ibadah kita, lain halnya bila sudah menikah. Sebab, sebagaimana telah disinggung dimuka, menikah adalah tuntutan fithroh kita sebagai manusia.
Nah, karena tuntutan fithroh inilah kita sebagai orang tua hendaknya segera menikahkan putra putri kita, karena Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS an-Nur [24]: 32)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "disunnahkan agar segera menikah dengan wanita yang masih muda. Itulah tujuan menikah ynag sebenarnya, karena dia yang paling nikmat dan lebih sedap bau mulutnya, lebih menarik, paling indah pergaulannya, lucu bicaranya, cantik wajahnya, lembut kulitnya, menarik suami untuk bersikap lembut kepadanya" (Shohih Muslim, Syarh an-Nawawi 5/70)
Segera menikahkan anak merupakan bentuk belas kasih orang tua kepada anaknya. Dan orang tua yang mempunyai belas kasihan kepada anaknya, niscaya akan dibelas kasihani oleh anaknya kelak. Selain itu, dengan segera menikahkan anak, akan meringankan beban dan menenangkan jiwa anak, membendung anak berbuat zina dan maksiat lainnya.

Menyegerakankan untuk menikahkan anak
Begitu pula bila dia sudah siap menikah, sudah bisa bekerja walaupun belum selesai kuliah, maka alangkah baiknya bila segera dinikahkan. Jika dia sudah mampu menikah dengan persyaratan diatas (siap menikah dan sudah bekerja – red), maka yang lebih utama adalah menikah daripada melanjutkan kuliah. Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda " Wahai pemuda, apabila kalian telah mampu menikah maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu benteng baginya" (HR. Bukhori: 4677 dari Sahabat Abdulloh Radhiyalahu 'anhu)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "bahwa yang dimaksud mampu menikah ialah mampu berkumpul dengan istri dan memiliki bekal untuk menikah." (Fathul Bari 14/293)
Orang tua boleh melarang putranya sementara untuk tidak menikah bila anaknya belum bekerja sehingga ia mendapat pekerjaan. Karena memang sebagai seorang suami, laki-laki wajib mencarikan nafkah untuk istri dan keluarganya. (lihat ath-Tholaq ayat 7 dan an Nisa' ayat 34)
Dan hendaklah anak yang belum mampu menikah dianjurkan untuk menahan dan memelihara dirinya sehingga Alloh subhanahu wa ta'ala memberinya kemampuan menikah. (lihat surat an-Nur ayat 33)
Lain halnya jika anak kita itu seorang wanita. Apabila dia sudah dewasa dan memiliki keinginan untuk menikah yang mana hal itu bisa dilihat dari gerak-geriknya setiap hari dan pergaulannya dengan pria, atau ada laki-laki yang sudah meminangnya sedangkan laki-laki itu orang yang baik aqidah dan akhlaknya, dan putri kita ridho dengannya; maka hendaklah segera dinikahkan. Sebab, anak wanita itu lebih utama untuk cepat dinikahkan daripada melanjutkan belajar. Janganlah menghalangi putri kita untuk segera menikah meski kuliahnya belum selesai. Karena hanya dengan jalan inilah putri kita akan selamat dari perbuatan jahat.
Abu Hatim al-Muzani Radhiyalahu 'anhu berkata: Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Jika datang kepadamu seorang yang kamu senangi agama dan akhlaknya maka nikahkanlah (putrimu) dengannya. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan dipermukaan bumi ini. (HR Tirmidzi: 1005, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Mukhtashor Irwaul Gholil 1/370)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah tatkala ditanya : "bagaimana hukum orang tua yang menghalangi putrinya yang sudah kuat (keinginannya) untuk menikah tetapi mereka masih menyuruh putrinya melanjutkan kuliah?"
Maka beliau menjawab:" tidak diragukan lagi bahwa orang tuamu yang melarangmu (menikah padahal kamu) sudah siap menikah hukumnya adalah haram. Sebab, menikah itu lebih utama dari pada menuntut ilmu, dan juga karena menikah itu tidak menghalangi untuk menuntut ilmu, bahkan bisa ditempuh keduanya. Jika kondisimu demikian wahai Ukhti! Engkau bisa mengadu ke pengadilan agama dan menyampaikan perkara tersebut, lalu tunggulah keputusannya." (Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin 2/754)

Sikap Orang Tua
Dari keterangan diatas diketahui bahwa merupakan sebuah kesalahan orang tua (yaitu) melarang anak laki-lakinya menikah hanya karena belum selesai kuliah, harus punya rumah dulu, harus menyelesaikan pendidikan adiknya dulu, menunggu kakaknya menikah dulu, menanti bila adik perempuannya sudah menikah, harus jadi pegawai negeri dulu, atau harus mencari orang yang sama pendidikannya, sama jabatan atau kedudukannya, sama suku dan adatnya.
Demikian juga merupakan kesalahan orang tua adalah melarang anak perempuannya menikah karena belum bekerja, belum selesai kuliah, kakaknya belum belum menikah, calonnya bukan orang kaya, atau bukan dari keturunan yang terkenal. Ini semua bila diharuskan maka akan menelantarkan anak dan menimbulkan masalah di dalam keluarga, bahkan boleh jadi menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.

Melarang Anak Menikah

Jika ada orang tua yang melarang anaknya menikah dengan orang yang dicintainya, maka larangan orang tua itu tidak perlu ditaati, dengan syarat bahwa orang yang akan dinikahinya itu memang layak untuk dinikahinya dan tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar daripada jika tidak menikahinya.

Karena pada dasarnya menikah adalah hak anak, dan yang akan menikah adalah sang anak, bukan sang orang tua.

Berikut ini petikan fatwa dari syaikh bin baz dalam masalah ini: 
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apabila ada seorang lelaki yang datang untuk meminang seorang gadis, akan tetapi walinya (ayahnya) menolak dengan maksud agar putrinya tidak menikah, maka bagaimana hukumnya ?

Jawaban
Seharusnya para wali segera mengawinkan putri-putrinya apabila dipinang oleh laki-laki yang setara, apalagi jika mereka juga ridha. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Apabila datang kepada kamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya untuk meminang (putrimu) makan kawinkanlah ia, sebab jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan malapetaka yang sangat besar” [Riwayat At-Turmudzi, dan Ibnu Majah. Hadits ini adalah hadits Mursal, namun ada hadits lain sebagai syahidnya diriwayatkan oleh At-Turmudzi]

Dan tidak boleh menghalangi mereka menikah karena supaya menikah dengan lelaki lain dari anak pamannya atau lainnya yang tidak mereka suka, ataupun karena ingin mendapat harta kekayaan yang lebih banyak, ataupun karena untuk tujuan-tujuan murahan lainnya yang tidak dibenarkan oleh syari’at Allah dan Rasul-Nya.

Kewajiban waliul amr (ulama dan umara) adalah menindak tegas orang yang dikenal sebagai penghalang perempuan untuk menikah dan memperbolehkan para wali lainnya yang lebih dekat kepada sang putri untuk menikahkannya sebagai penegakan keadilan dan demi melindungi pemuda dan pemudi agar tidak terjerumus ke dalam apa yang dilarang oleh Allah (zina) yang timbul karena kezaliman dan tindakan para wali menghalang-halangi mereka untuk menikah.

Kita memohon kepada Allah, semoga memberikan petunjukNya kepada semua dan lebih mendahulukan kebenaran atas kepentingan hawa nafsu. 
[Kitabud Da’wah, hal 165, dan Fatawa Syaikh Ibnu Baz]

Kesyirikan ditengah-tengah Masyarakat


Allah Mengetahui yang ghaib


قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِى السّموتِ وَ اْلاَرْضِ الْغَيْبَ اِلاَّ اللهُ، وَ مَا يَشْعُرُوْنَ اَيَّانَ يُبْعَثُوْنَ. النمل:65
Katakanlah, "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan. [QS. An-Naml : 65]


وَ عِنْدَه مَفَاتِحُ اْلغَيِبِ لاَ يَعْلَمُهَا اِلاَّ هُوَ، وَ يَعْلَمُ مَا فِى اْلبَرّ وَ اْلبَحْرِ، وَ مَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ اِلاَّ يَعْلَمُهَا وَ لاَ حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمتِ اْلاَرْضِ وَ لاَ رَطْبٍ وَّ لاَ يَابِسٍ اِلاَّ فِيْ كِتبٍ مُّبِيْنٍ. الانعام:59
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). [QS. Al-An'aam : 59]


اِنَّ اللهَ عِنْدَه عِلْمُ السَّاعَةِ، وَ يُنَزِّلُ اْلغَيْثَ وَ يَعْلَمُ مَا فِى اْلاَرْحَامِ، وَ مَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّا ذَا تَكْسِبُ غَدًا، وَ مَا تَدْرِيْ نَفْسٌ بِاَيّ اَرْضٍ تَمُوْتُ، اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ. لقمان:34
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [QS. Luqman : 34]


علِمُ اْلغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلى غَيْبِه اَحَدًا. اِلاَّ مَنِ ارْتَضى مِنْ رَسُوْلٍ فَاِنَّه يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِه رَصَدًا. الجن:26-27
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. (26) Kecuali kepada Rasul yang diridlai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (27). [QS. Al-Jin]




Percaya Pada Kesialan
Dari 'Imran bin Hushain RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : "Tidak termasuk golongan kami orang yang percaya tanda-tanda kesialan atau datang bertanya kepada orang yang mempercayai tanda-tanda kesialan, atau orang yang melakukan pedukunan atau orang yang datang berdukun, atau orang yang melakukan sihir atau orang yang datang meminta tolong kepada tukang sihir. Barangsiapa yang datang kepada dukun dan membenarkan apa yang dikatakan dukun itu, maka sungguh ia telah kufur pada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW". [HR. Al-Bazzar dengan sanad Jayyid].
Dari Abud Darda' RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan mencapai derajat yang tinggi orang yang percaya kepada dukun atau orang yang percaya kepada ramalan nasib atau kembali dari bepergian (menunda pemberangkatan) karena percaya bahwa waktu itu saat sial". [HR. Thabrani]
Dari Shafiyah dari sebagian isteri Nabi SAW dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Barangsiapa yang datang kepada tukang ramal, lalu menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam". [HR. Muslim]
Dari Ibnu 'Abbas RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang mempelajari ilmu ramalan bintang berarti dia mempelajari satu cabang dari sihir, dan bertambah dosa apabila dia bertambah dalam mempelajarinya". [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majjah]
Dari Qathan bin Qabishah dari ayahnya RA, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Ramalan dengan tulisan, ramalan dengan burung dan ramalan dengan lemparan kerikil termasuk syirik (menyekutukan Allah)". [HR. Abu Dawud, Nasai dan Ibnu Hibban].
Dari Anas bin Malik, dari Nabi SAW beliau bersabda, "Tidak ada istilah menular dan tidak ada tanda-tanda kesialan. Tetapi menyenangkan kepadaku Al-fa'lu". Anas berkata : Lalu ditanyakan, "Apakah itu al-fa'lu ?" Beliau menjawab, "Kalimat yang baik". [HR. Muslim]


Kebenaran dukun itu dari Jin yang mencuri berita gaib
Dari Aisyah, ia berkata, aku berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya para dukun pernah menceritakan kepada kami tentang sesuatu dan kami dapati bahwa yang mereka ceritakan itu benar terjadi". Rasulullah SAW bersabda, "Kalimat yang benar itu memang sengaja disambar dengan cepat oleh jin lalu dilemparkan ke telinga walinya (dukun), tetapi di dalamnya ia sudah menambah dengan seratus kedustaan". [HR. Muslim]
'Aisyah berkata : Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang dukun. Maka Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, "Mereka tidak bisa apa-apa". Orang-orang menyahut, "Tetapi mereka itu kadang-kadang menceritakan sesuatu yang benar-benar terjadi". Rasulullah SAW bersabda, "Kalimat itu adalah dari Jin yang ia menyambarnya lalu diperdengarkan ke telinga pembantunya (dukun) seperti suara ayam lalu mereka mencampurinya dengan lebih dari seratus kedustaan". [HR. Muslim].




Meninggal dalam Kesyirikan
Dari Ibnu 'Abbas RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : "Ada tiga perkara apabila seseorang tidak mempunyai satupun dari tiga perkara tersebut, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang Allah kehendaki. 1. Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mensekutukan Allah dengan sesuatu, 2. Seseorang yang tidak melakukan sihir ataupun mengikuti tukang sihir, dan 3. Orang yang tidak mempunyai dendam kepada saudaranya". [HR. Thabrani di dalam Al-Kabir dan Al-Ausath].
Tidak diterima Ibadahnya 40 malam
Dari Wailah bin Asqa' RA, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa datang kepada dukun menanyakan sesuatu kepadanya, maka tertutup taubat darinya selama empat puluh malam, dan jika ia mempercayai perkataan dukun itu, ia kafir". [HR. Thabrani]







Menikah Tanpa Restu Orang Tua

KETENTUAN NIKAH Sebagai pijakan awal dari pembahasan ini perlu dijelaskan lebih dulu tentang syarat-rukun nikah yang menentukan sah-tidaknya suatu pernikahan. Syarat-rukun nikah secara umum ada empat (walaupun hal ini masih diperselisihkan), yaitu: adanya calon suami dan calon isteri yang saling rela untuk menikah, lafal ijab dan qabul yang jelas, dua orang saksi yang adil dan wali dari calon isteri. Menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) nikah itu tidak sah tanpa wali. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda (yang maknanya): “Tidak sah nikah tanpa wali yang cerdas dan dua orang saksi yang adil” (HR. ad-Da
ruquthniy, Ibnu Majah dan Ahmad). Bagaimana halnya jika terjadi, karena pertimbangan tertentu orangtua menolak dan tidak merestui pilihan anaknya (yang paling mungkin adalah anak perempuan), dan bagaimana pula jika anak gadisnya tetap bersikukuh nikah dengan pria yang dicintainya? BERBAKTI KEPADA ORANTUA Berbakti kepada kedua orangtua (birrul waalidain) termasuk salah satu ajaran asasi Islam. Allah SWT dan Rasul-Nya amat menekankan birrul waalidain ini dalam banyak ayat al-Qur’an maupun hadis shahih. Di antara ayat yang terkait hal ini adalah firman Allah SWT (yang maknanya): ” Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbakti kepada kedua orangtuamu. Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut di sisimu, maka jangan sekali-kali kamu mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, apalagi membentak mereka. Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (santun)” (al-Isra’ ayat 23). Sedang hadis yang terkait dengan birrul waalidain antara lain adalah sabda Nabi SAW (yang maknanya): “Ridlo Allah SWT itu ada dalam ridlo kedua orangtua, begitu juga murka Allah SWT itu ada dalam murka keduanya” (HR at-Turmudziy dari Abdullah bin ’Amr). Tetapi bakti dan kepatuhan anak kepada orangtuanya ini terbatas pada hal-hal yang tidak mengarah kepada pelanggaran terhadap ajaran Islam. Jika sudah mengarah kepada pelanggaran ajaran agama, maka yang ada bukan bakti dan patuh, melainkan hormat saja. Demikian makna firman Allah SWT: ”Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku, sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mematuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik…” (Luqman ayat 15). Oleh karena itu, semua anak wajib ekstra hati-hati dalam menghadapi dan menyikapi orangtua mereka. Segala sikap dan ucapan anak harus mengacu pada pertimbangan perasaan dan kepatutan menghadapi orangtua. Sekali pun andaikan orangtua jelas salah atau tidak patuh pada ajaran agama, maka masih tersisa kewajiban anak untuk menghormatinya. Tetapi orangtua juga tidak dibenarkan arogan dan semena-mena memperlakukan anaknya, jangan menjadi orangtua yang memancing kedurhakaan anak. Orangtua harus mengarahkan anak untuk mematuhi mereka dengan memberi contoh kepatuhannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. NIKAH TANPA RESTU ORANGTUA Dalam kaitan nikah, secara fiqih formal (hukum), pilihan anak yang berbeda dengan orangtua atau keengganan orangtua merestui pilihan anaknya tidak berpengaruh apa-apa terhadap sahnya pernikahan, karena restu orangtua itu tidak terkait syarat-rukun nikah. Dengan demikian nikah tersebut tetap sah dan karenanya hubungan suami isteri antara keduanya juga halal. Dalam perspektif fiqih formal, ayah lebih dominan dibanding ibu, karena menurut jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) ayahlah yang berhak menjadi wali bagi anak perempuannya. Tetapi secara fiqih moral (akhlaq) dan fiqih sosial (kemasyarakatan), pernikahan yang tidak direstui orangtua akan bermasalah dan menjadi handikap bagi hubungan anak-orangtua, sesuatu yang harus dihindari. Begitu juga kengototan orangtua pada penolakannya terhadap pilihan anaknya merupakan hal yang mesti ditiadakan. Kunci semua itu adalah komunikasi antara orangtua-anak harus terjalin baik sejak mula. Dalam perspektif fiqih moral, restu ibu lebih dominan dibanding ayah, karena bakti anak kepada ibu adalah 3 berbanding 1 terhadap ayah (HR al-Bukhariy), asal mereka sama-sama bertaqwa kepada Allah SWT. Perlu dicatat dalam kaitan ini, jika ada orangtua yang menolak pilihan anaknya hanya karena pertimbangan etnis atau tradisi, maka orangtua demikian harus berfikir seribu kali untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah SWT nanti, karena tegas jelas Allah SWT berfirman (yang maknanya): ”Hai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, kemudian menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (al-Chujuraat ayat 13). Orangtua demikian juga harus malu kepada Rasulullah SAW yang bertahun-tahun berjuang mendakwahkan Islam dan menghilangkan rasisme. Dalam suatu khuthbah yang berapi-api pada hari Tasyriq, di hadapan ribuan sahabat, Rasulullah SAW berseru (yang maknanya): ”Hai manusia, ingatlah bahwa Tuhan kalian satu dan bapak kalian juga satu. Ingatlah tidak ada kelebihan orang Arab terhadap non-Arab, tidak juga orang non-Arab terhadap orang Arab; tidak juga orang berkulit merah terhadap kulit hitam, tidak juga orang kulit hitam terhadap kulit merah, KECUALI DENGAN KETAQWAANNYA…” (HR Ahmad dari Abi Nadlrah). Makna hadis ini benar-benar sama dan sebangun dengan kandungan firman Allah SWT dalam al-Chujurat 13 di atas, bahwa ketaqwaan adalah penentu kemuliaan siapapun, bukan etnis atau suku dan lain-lain. Karenanya jangan ada lagi etnis tertentu yang merasa lebih leading, unggul dan eksklusif terhadap etnis yang lain. Bukankah tokoh-tokoh kafir yang memusuhi bahkan berkali-kali berperang melawan Rasulullah SAW juga satu etnis dengan beliau? Oleh karena itu, hendaknya semua orangtua bersikap arif dan bertindak bijak ketika menghadapi anak yang sudah menjalin hubungan sedemikian dekat dengan seseorang dan merasa sudah amat cocok sehingga tidak mungkin lagi dipisahkan, maka lebih baik segera dinikahkan agar terhindar dari perbuatan zina. Jangan ada lagi orangtua yang bertindak otoriter dengan sikap tanpa kompromi melarang dan menghalang-halangi pernikahan mereka, yang kemudian amat memungkinkan terjadinya perzinaan. Hal ini tentu dengan syarat bahwa pihak pria harus beragama Islam. Tetapi jika pihak lelaki non-muslim, maka harus masuk Islam dulu. Jika tidak mau, maka sengotot apa pun tidak perlu diloloskan, karena dinikahkan pun tetap tidak sah dan hubungan mereka tetap dihukumi zina. Jadi bagi wanita muslimah, mutlak selektif dalam hal agama pria yang dicintai, harus muslim. Kalau tidak, maka pilihannya adalah mendapat “suami” non-muslim tapi jurusan neraka, atau berpisah dari non-muslim yang dicintai tapi akan dicintai Allah SWT dan tentu saja jurusan surga. Wallaahu a’lam
From. Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More